Thursday, December 13, 2007

Bayangan Digaris Lamunan

Susana sedang dipinggir pantai.
Seorang lelaki berjalan gontai dengan membawa sebotol minuman.


Buih-buih itu memberi gambaran atas lamunanku. Buih-buih itu memberi pelarian atas bayanganmu. Wajah merah tatkala engkau merangkak naik dalam aliran darahku. Bayanganmu berkelebat elok dalam warna-warna pelangi di pelupuk mataku. Aku tertawa, aku tertawa. Aku tertawa atas wajahmu yang hadir dalam lamunanku. Aku tak tahu mengapa aku selalu melamunkanmu. Membentuk garis-garis cantik dalam bayanganku.

”Ting! Aku tahu, aku tahu sekali kawan. Kau lihatlah di depanmu itu. Gulungan ombak berderu membentuk tebing-tebing yang curam. Mendorong, menerpa, bergulung-gulung, dan siap melumat sesak di dalam dadamu. Aku tahu penderitaan di dalam dirimu.”

”Bukan! Bukan penderitaan yang kurasakan, tapi???”

”Tapi apa?! Bayangan itu selalu mengikat disetiap helaian nafasmu dan kau tak mampu melawan tiupan badai samudera ini. Dan kau, kau tak mampu memberi ’dermaga’ yang elok. Kau tak mampu memberi layar yang terbentang. Kau tak mampu menjadi biduk tambatan hati bayangan nan elok itu.”

”Tapi, aku masih mempunyai batu karang. Aku masih mempunyai pasir. Aku mempunyai mutiara cantik. Akan kubangun istana yang megah di atas batu karang dengan pasir putih, dan akan kuhiasi dengan tebaran mutiara dari samudra yang paling dalam.”

“Lalu, kenapa matamu bercucuran air mata? Apakah kau tak mampu menjala bayanganmu? Apakah bayangan itu terhapus oleh gelombang ombak dan gemuruhnya air samudera? Apakah bayangan itu terpikat oleh umpan nelayan lain?”

”Aku tak tahu ! Aku tak tahu ! hentikan semua pertanyaanmu itu! Dengar, dengarkan aku. Yang aku tahu, aku berada di pantai ini. Yang aku tahu, aku dibatas air dan pasir. Yang aku tahu, aku digaris batas kehidupan. Yang aku tahu, di depanku gelombang ombak siap menerjangku. Yang aku tahu, di belakangku hamparan pasir siap mengubur aku. Dan, di atasku matahari memanggang tubuhku.”

”Ha...ha...ha, kau goblok, tolol! Pakai, lalu lihatlah dengan sebuah kaca mata kuda agar kau dapat melihat dengan lurus dan satu arah! Di depanmu itu adalah bahtera yang akan membawa hidupmu ke dalam surga dunia. Kau akan digoyang oleh gelora nafasmu seperti gelombang yang naik turun, berayun-ayun, berkejar-kejaran, saling memburu dalam satu lautan. Di belakangmu itu adalah hamparan permadani yang ditumbuhi bunga, wangi-wangian yang akan ditaburkan dalam setiap langkahmu. Dan, lihatlah pohon kurma itu! Pohon itu memberi harapan bagimu. Tengadahkan wajahmu! Matahari telah tepat di atasmu. Dia akan menyatukan engkau dengan bayanganmu, menyatukan setiap aliran darahmu, helaian nafasmu, dan menjadi teman dalam hidupmu.”

(Tiba-tiba lampu mati. Lelaki itu hanya terdiam termenung, diiringgi musik dan nyanyian sampai melirih dan menghilang. Sebuah tarian mengelilingi. Lelaki itu bingung mencari bayangannya)

”Ah…ah, dimana, dimana hai kau?! dimana kau?! Aku tak pernah memakai kaca mata kudamu itu! Aku tak pernah merasakan surga dunia! Aku tak..tak pernah lalui hamparan permadani! Aku tak pernah mempunyai teman dalam hidupku! Persetan dengan semua itu!!!”

(Terdiam dan termenung)

”Dimanakah kamu? Engkau membuat aku pusing. Aku akan mengejarmu tapi botol-botol ini seperti mengikat kakiku, meremukkan semua tulang-tulangku, dan mencairkan semua isi dalam otakku. Aku benci akan semua itu! Aku benci kenapa aku mengambil jalur ini! Kenapa aku tak mengambil jalur seperti mereka?! Mereka yang setiap kali diantar sampai ketujuan, yang setiap kali dapat bercinta di dalam mobil pribadinya. Apakah aku salah jalur? Hah, apakah aku salah jalur?!”
”Tidak! Engkau tidak salah. Engkau sudah benar. Engkau selalu kutolong setiap kali engkau akan memunculkan ilusimu; memunculkan apa saja yang kau inginkan.”

“Siapa kamu? Engkau telah menganggu aku.”

”Perkenalkan, aku ini temanmu yang berada di dalam botol-botol itu. Engkau selalu datang padaku disaat engkau ingin melepaskan segala kepenatan hidup; menggapai impianmu. Engkau tidak sendiri. Engkau punya aku dan teman-teman di luar sana yang juga sedang menggapai kebahagiaan mereka. Kami selalu bersenang-senang, tertawa, menari, bercinta, dan bahkan masih banyak macam kebahagiaan lain yang kami kemas dalam botol. Kami-pun menyediakan dalam bentuk paket-paket siap saji.”

”Jadi, engkau bisa membantu aku? Engkau bisa menjadikan semuanya nyata? Engkau bisa merubah garis-garis jingga ini menjadi bidadari cantik? Sungguh?! Buktikan jika engkau memang bisa mewujudkannya!”



*


(Berilusi, bersetubuh dengan wanita cantik)

”Datanglah padaku, ayo mendekatlah sayang, sambutlah pangeranmu ini...arrgghhh... Ah, mengapa engkau ambil kembali dariku? Akan kupuaskan hasratku bersama bidadari cantikku...arrgghhh… (orgasme)”

”Aha, cukup saja perkenalan dari mister Al. Kalau anda ingin lebih, kami menyediakan dalam paket-paket siap saji. Atau, anda juga bisa menghubungi kami di 0815…”

”Oh, engkau jahat! Engkau biarkan aku. Engkau meninggalkan aku begitu saja. Engkau biarkan aku merana. Jangan pergi!”

”Aha, jangan sekalipun memohon kepadaku, karena aku bukanlah pohon. Aku adalah seekor kupu-kupu yang manis; yang bisa terbang kemanapun aku mengepakkan lukisan indah dalam sayapku. Aku juga bisa menjadi rajawali yang siap menyambar anak ayam seperti engkau. Aku akan membawamu terbang tinggi menuju mega-mega, kemudian, aku koyak hidupmu dengan cakar-cakar mautku. Lalu, aku akan berpesta...hahaha...”

”Tunggu, jangan tinggalkan aku! Tolong jangan tinggalkan aku!(ambruk terjatuh)

(Seorang wanita berpakaian putih mendatangi. Beberapa pengawal berpakaian hitam-hitam mengelilingi wanita itu. Sambil membawa kendi berisi air, kemudian, disiramlah laki-laki itu agar tersadar. Sesaat, mereka pergi)

”Kenapa aku harus terbangun? Kenapa aku harus merasakan dinginnya air ini? Kenapa engkau ambil aku dari lamunanku? Biarkan aku hidup dalam khayalanku! Kenapa aku selalu hidup dalam gemerlapnya dunia dan selalu pula aku nikmati dalam kesendirianku? Tak seorangpun mengetahui hal ini! Tak seorangpun aku biarkan mengambil separuh hidupku!”


**

Aku (penulis) berkata: ”Tak seorangpun yang akan mengambil hidupmu atas kepergiannya. Namun, engkau telah dilahirkan kembali ke dalam hidupmu yang nyata.”


(Ditulis oleh Ir. Beny – pengasuh teater SMA tarakanita Jakarta yang kini bekerja di PT. Freeport Indonesia - pada 5 mei 2003. Diedit dengan ’bingung’ oleh Koent, S. S., karena penggunaan kata-kata yang rancu; juga, si penulis meminta karyanya dipostingkan tanpa pernah mengungkapkan maksud/isi atau setidaknya menceritakan tema dari tulisan ini. Membingungkan memang :p)