Monday, March 17, 2008

Pers : Peristiwa Minus Makna (WAJIB DIBACA)

Oleh Arswendo Atmowiloto

GAGASAN

Pada sadarnya sebuah peristiwa tak pernah berdiri sendiri, lepas dari persoalan lain-yang bisa dirumuskan dengan pasar atau pemerintah. Bahkan idiom "God given the news", seperti jatuhnya pesawat terbang atau gunung meletus pun, ada penelusuran kemanusiaan yang menjadi sebab dan akibat. KIKI Fatmala disebut oleh ibunya sebagai anak durhaka. Lalu terjadi maaf-maafan. Kemudian "kutukan" sang ibu terdengar lagi ketika sakit dan tak punya duit. Dhani Dewa dicerca ayahnya ketika dikabarkan menikah dengan Wulan Kwok-atau Wulan siapa. Dhani balas dengan mengatakan bahwa ayahnya yang selama ini poligami.

Ada yang mengada-ada ketika membaca atau mendengar berita seperti ini, meskipun dari pemberitaan memenuhi persayaratan. Ada peristiwa, didukung data dan fakta, diolah menjadi sebuah laporan. Jadilah sebuah berita. Begitulah mekanisme dinamis pers. Namun tersisa pertanyaan yang mengiringi : sedemikian gawatkah hubungan antara ibu-anak atau ayah-anak, sehingga bisa begitu leluasa saling menghujat, menggugat, dan melaknat? Sudah sedemikian bobrokkah hubungan saling menghormati dan saling menghargai antara orang tua dengan anaknya? Kita tak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi, karena gambaran yang diberikan hanya sepotong-sepotong. Hanya riak-riak peristiwa, ketika sumber berita berteriak. Itulah yang tercetak atau terlihat telak di layar televisi, dengan dengan tangisan, kepiluan, atau kalimat arogan atau bahkan, adegan pingsan. Barang kali kita akan mengatakan begitu dunia pers jenis infotainment-istilah yang maksa, dan tak ada padanannya dalam istilah pertelevisian-namun juga terlihat pada berita politik. Ada yang tidak ada, dalam proses pemberitaan seperti ini. Dan yang tak ada itu adalah makna. Sebenar-benarnya apa maknanya pertengkaran anak dengan orang tua atau istri dengan suami, selain menarik perhatian sesaat? Siapa yang "sesat" dan "menyesaatkan" dalam adu mulut atas kemelut ini? Sumber dan Samber Dari contoh di atas, terlihat bahwa hubungan sumber berita dengan pencari berita, sebatas pada "busa-busa yang meluap dari gelas". Isi gelas yang sebenarnya tak diceritakan, tidak dimasukkan dalam bingkai persoalan. Yang ada lebih visual atau tekstual dari seorang ibu yang memurkai anaknya. Any who is this lady? Dan kemudian jawaban sang anak, yang juga tidak menjelaskan apa latar belakang hubungannya selama ini. Sedikit berbeda, tapi ini contoh lain di mana bingkai permasalahan yang mendasari terlupakan.

Adalah pengarang tetralogi yang mengalami karyanya dengan novel "Laskar Pelangi", bernama Andrea Hirata. Diberitakan (Kompas, 26/02/08 hal. 32) novel laris itu tak akan pernah diterbitkan kalau temannya tidak mengirimkan. Andrea mengatakan ketika berada di Universitas Diponegoro, Semarang. Sudah, begitu saja. Yang tak disertakan adalah ada pembicara lain dalam obrolan itu, dan terutama alasan utama kehadiran sang pengarang di situ-yaitu dalam kaitan soal karang mengarang secara safari di lima universitas. Ini tidak mengada-ada, karena inti berita diangkat adalah soal bagaimana menerbitkan. Jawaban sumber berita dalam konteks tersebut, bukan yang lain. Satu kalimat menjelaskan, akan lengkap gambaran yang diberikan. Namun, agaknya pencari berita, menganggap sumber berita, bisa disamber begitu saja. Dikutip, dipotret, dan dimuat. Padahal dengan satu kalimat penjelasan, bingkai itu akan menempatkan secara kontekstual. Ada alasan, ada latar belakang kehadirannya di universitas itu, bukan tiba-tiba turun dari langit. Kebiasaan samber dari sumber berita, dalam teori jurnalistik, lebih banyak terjadi dalam liputan demontrasi atau peperangan. Dalam peristiwa demo, pencari berita yang kesulitan menemukan koordinatior lapangan atau pemimpin demo, akan memilih siapa saja yang ada di barisan demo untuk diwawancarai. Bisa mewakili, bisa pula bias. Dari segi komunikasi, memang begitulah gambaran umum : sebuah mobil melintas di jalanan, akan lebih mudah diingat mobil merek apa atau warna apa, dibandingkan nama jalanan atau suasana sekitarnya. Padahal keberadaan mobil melintas tak bisa dipisahkan dari jalanan itu, dan latar belakangnya. Kalau mobil diganti pesawat helikopter yang jatuh, itu sebuah peristiwa, itu sebuah berita. Mempunyai nilai berita dibandingkan dengan becak yang tergeletak. Bingkai yang membedakan kenapa helikopter milik TNI AU ketika disewa pengusaha-di antaranya dari Singapura,-- dan apa yang sebenarnya berlangsung selama ini. Kasus Watergate yang menjatuhkan Presiden Nixon dimulai dari penyadapan telepon yang menemukan bingkai lebih bermakna sebagai peristiwa. Kalau helikopter diganti dengan timbunan kayu hutan dan pembalakan liar yang tersebar, sebenarnya bisa ditarik lebih dalam dari sekadar "pertengkaran" Menteri Kehutanan dengan Kapolri. Kalau pemasangan pesawat televisi LCD di setiap lantai dan setiap lorong di gedung Dewan Perwakilan Rakyat ditelusuri-juga ternyata lebih banyak untuk melihat program siaran luar negeri dibandingkan sebagai monitor sidang-sidang, kita akan menemukan gambaran yang lebih lengkap, dan tidak terperangkap oleh berita lepas tanpa kaitan.

Buih dan Buah Ketidakutuhan pengabaran ibarat kata hanya memberikan buih-buih dari gelas bir, bukan buah, di mana masyarakat menjadi lebih mengerti dan memahami. Tradisi pers yang kokoh dan bermartabat yang dibumikan oleh para pendiri pers kita, mulai dari P.K. Ojong, Jakob Oetama, Rosihan Anwar, Mirta Kartahadireja, Goenawan Mohamad, sampai dengan Ishadi SK, Karni Ilyas, menjadi samar bekas-bekasnya. Martabat yang ditradisikan dengan menghormati sumber berita, menjalin hubungan yang tidak sesaat, penyampaian yang berimbang, dan juga beragam, di samping secara intern, ke dalam, mendidik wartawan penuh semangat dan tak bisa diikat dengan amplop dan jenis pemberian lain. Tradisi yang terbukti berhasil, baik dari segi perusahaan pers itu sendiri, ataupun informasi yang dibuahkan dalam jangka panjang. Mereka inilah pendiri dan penerus tradisi pers yang dibakukan agak ambigu, sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab. Pada sadarnya sebuah peristiwa tak pernah berdiri sendiri, lepas dari persoalan lain-yang bisa dirumuskan dengan pasar atau pemerintah. Bahkan idiom "God given the news", seperti jatuhnya pesawat terbang atau gunung meletus pun, ada penelusuran kemanusiaan yang menjadi sebab dan akibat. Pada titik ini, sumber berita, atau tokoh-tokoh, melahirkan peristiwa karena prestasi yang dilakukan. Bukan semata keterkenalan itulah prestasinya.

Kita masih ingat penyanyi dangdut Maria Eva-yang kita baru tahu ia penyanyi dari peristiwa ketika adegan mesum dengan anggota DPR beredar dan dipersoalkan. Pemberitaan yang menjadikan ia selebritas, justru dalam kapasitas mesum. Pers dengan lugas mengutip keterangannya di mana dan kapan ia menggugurkan kandungan. Tanpa ada refleksi atau pertanyaan : sejak kapan menggugurkan kandungan di negeri ini bebas dilakukan? Saat ini, memang ada pergeseran-pergeseran dalam menyertakan makna dalam interaksi komunikasi. Di antara belantara yang berantakan berbagai peristiwa, kita masih bisa menemukan bentuk yang cerdas dan mencerdaskan masyarakat.

Dari media elektronika, "Suara Anda" (Metro TV), mewujudkan dengan bernas. Ada bingkai utama yang didialogkan, sehingga makna sebuah peristiwa lebih dimengerti. Dari segi acara, "Kick & Andy" (saya lebih suka menyebut King Andy, mirip acara Live with Larry King), yang dipandu Andy Noya, membuka wawasan yang tak dimiliki talks show lainnya. Untuk media cetak, pemilihan People of the Year (Seputar Indonesia), atau majalah Trubus dengan pilihan tokoh penggerak masyarakat merupakan sajian yang prima.

Bukan hanya memilih dan menyajikan secara bebas dan bertanggung jawab melalui penelitian dan penjurian, melainkan juga memberi makna, memberi inspirasi bermutu bagi khayalaknya. Inilah pers yang bebas, dengan sendirinya bertanggung jawab, sekaligus memberikan makna sebuah peristiwa.